Poso kembali
bergejolak. Konflik yang dialami masyarakat tak kunjung usai. Peristiwa
berdarah itu terkadang tak mengenal lagi humanisme dan kemanusiaan.
Bom Poso yang
meledak akhir-akhir ini tidak bisa dilihat secara sederhana atau murni gerakan
teroris semata. Termasuk bom yang meledak di Pos Polisi Lalu Lintas Kabupaten
Poso, yang melukai beberapa korban tak berdosa.
Ledakan yang
dialamatkan ke pihak keamanan dapat juga diterjemahkan sebagai protes terhadap
kelompok tertentu yang tidak nyaman dan puas terhadap pembangunan
infrastruktur. Atau, bisa juga, rekonsiliasi yang berdasarkan perbedaan
pandangan ideologis dan strata sosial ekonomi ternyata belum tuntas hingga ke
akar rumput. Untuk itulah perlu kita memahami secara komprehensif dan simultan
dari aspek pesan politiknya.
Protes Sosial
Tindakan teror
yang dialamatkan kepada pihak kepolisian jadi pertanda pesan komunikasi politik
bernuansa protes sosial. Kejadian ledakan bom bukan lagi pertikaian antarwarga
yang bermotif suku, agama, suku, dan antargolongan (SARA) seperti saat muncul
konflik poso 1998.
Teror bom yang
dianggap sebagai ”perlawanan” terhadap aparat keamanan dan penguasa,
mengindikasikan ada pihak tertentu yang ingin tetap eksis. Mereka ingin
menunjukkan jati dirinya dan ingin mendapat perhatian khusus dari pemerintah.
Pengamatan ini
cukup beralasan, terutama bila bertolak dari perspektif Perjanjian Malino.
Perjanjian yang ditandatangani 20 Desember 2001 itu merupakan wujud keinginan
kelompok yang bertikai—Muslim dan Nasrani—untuk mengakhiri konflik dengan
konsensus.
Lahirnya
konsensus Deklarasi Malino untuk Poso telah memiliki ikatan politik, ekonomi,
dan sosial untuk mengakhiri segala bentuk perselisihan.
Testimoni
perdamaian yang mengikat antarelite dan masyarakat: konflik itu merugikan
masyarakat Poso sendiri. Komunikasi politik yang ditangkap dari konflik itu
bahwa kesepakatan politik berupa power sharing merupakan jalan abadi untuk
mencegah konflik. Hanya saja, selama satu dekade terakhir, rentetan
peristiwa—di antaranya penculikan dan peledakan bom—masih tetap. Berdasarkan
hasil kajian penulis, konflik berkepanjangan di Poso bukanlah persoalan agama,
melainkan perebutan kepentingan politik dan ekonomi pribumi-pendatang.
Protes sosial
jangan hanya dimaknai bahwa bom Poso itu adalah teror sesama warga. Sebenarnya,
pesan politik yang ingin disampaikan adalah apakah dinamika masyarakat yang
pernah mengalami trauma konflik murni karena dendam pihak tertentu ataukah
karena persoalan ketimpangan sosial.
Selayaknya
pemerintah introspeksi diri apakah kesepakatan damai yang telah dicapai sudah
terimplementasi baik di lapangan atau belum. Sebab, jika pemerintah kurang
memberikan perhatian, protes sosial ini harus dimaknai bahwa pemerintah perlu
lebih intens dan optimal dalam membangun daerah konflik, baik berupa pelayanan
publik maupun infrastruktur, termasuk pemberdayaan masyarakat pribumi dan
pendatang. Sederhananya, Poso sebagai daerah bekas konflik yang terabaikan
membutuhkan perhatian khusus. Ketidakadilan yang mereka rasakan telah
menimbulkan kekecewaan.
Pesan politik
yang perlu juga disimak adalah seperti yang diungkapkan seorang tokoh deklarasi
Malino, Prof Dr Sulaiman Mamar (2007). Bahwa untuk memperbaiki hubungan kedua
kelompok yang bertikai adalah memperbaiki kehidupan ekonomi dengan segala
konsekuensi akibat dari konflik. Bahkan, menurut Guru Besar Universitas
Tadulako ini, faktor ekonomi akan menjadi perekat perdamaian dan penentu
kesepakatan damai. Kuncinya ada pada perbaikan ekonomi kerakyatan.
Kenyamanan
Komunikasi
Terjadinya
gesekan konflik di masyarakat Poso berarti adanya ketidaknyamanan di antara
warga masyarakat ataupun antarelite. Jika komunikasi berlangsung nyaman,
pertanda ada harmonisasi dan keseimbangan terjadi dalam sistem sosial.
Sebaliknya, bila ada teror dan ancaman bom, berarti ada sekelompok komunitas
yang secara sengaja dan terencana ingin mengganggu stabilitas politik dan
keamanan.
Kekerasan di
Poso pada masa konflik diwarnai kenyataan adanya anak-anak berumur 15 tahun
sudah pandai merakit bom dan menggenggam senjata M-16. Itu artinya, kader-kader
militan sudah terbentuk di Poso. Bahkan, menurut informan penelitian disertasi
penulis, Osama bin Laden pernah berkunjung ke Poso. Jika informasi ini benar,
artinya Poso sudah jadi jaringan sel teroris yang perlu mendapat perhatian
serius dari pihak keamanan.
Menghadapi
realitas demikian, untuk mengembalikan kenyamanan warga Poso tidak cukup hanya
dengan pendekatan keamanan. Jauh lebih penting lagi, bagaimana warga Poso yang
sudah berjiwa militan didekati secara persuasif dan komunikasi timbal balik
untuk mengubah pandangan hidup mereka yang militan dan fanatik.
Suatu pandangan
hidup, yang sudah merupakan suatu kepercayaan bahwa melakukan kekerasan dihalalkan
atas nama ideologi.
Bahkan, secara
ekstrem dikatakan, menghilangkan nyawa manusia diperbolehkan atas nama agama
yang dia anut. Pemaknaan simbol kekerasan dianggap kewajiban sehingga mereka
melakukan tanpa beban dosa. Menghadapi cara pandang semacam ini yang diperlukan
adalah pendekatan negosiasi dan persuasif dengan ”pencerahan” ideologi.
Hal yang lebih
penting lagi dalam menciptakan harmonisasi dan komunikasi masyarakat Poso,
yakni perlunya kesadaran elite (elite politik dan elite agama). Perlu dibangun
kesadaran bahwa masyarakat Poso yang berdiam di pesisir atau di pegunungan
memiliki hubungan tali persaudaraan. Jangan sampai karena berbeda kepentingan
politik dan ekonomi, Poso menjadi jauh dari kedamaian.
Mengingat salah
satu sumber konflik berawal dari jabatan (kursi bupati) berarti salah satu
masalahnya terletak pada ketidakpuasan yang menimbulkan kekecewaan. Jika para
elite menyadari pentingnya kenyamanan dalam melaksanakan proses komunikasi
politik, kekecewaan jangan dibawa ke arena konflik.
Bukankah
prinsip hidup masyarakat Poso sangat menjunjung tinggi kearifan lokal,sintuwu
maroso, yang maknanya adalah bersatu untuk kuat.
Kearifan lokal
yang bermakna filosofis ini bisa menjadi landasan komunikasi politik bahwa
elite perlu menyadari politik bukanlah segala-galanya. Jika terjadi
perselisihan dan perbedaan pendapat dapat dilakukan komunikasi politik yang
positif. Tentu saja dengan bingkai bahwa bersatu itu menguatkan komunikasi
vertikal dan horizontal.
Dengan
demikian, konflik dan perbedaan dapat dihindari untuk mencapai kebersamaan dan
kedamaian. Kenyamanan komunikasi harus menjadi fondasi bahwa budaya komunikasi
sintuwu maroso selalu membingkai kebersamaan untuk persatuan.
Pesan Politik
Pertanyaan
mendasar yang perlu dimunculkan, mengapa Poso kembali bergejolak, kekerasan dan
teror bom terjadi beberapa minggu ini? Apa sebab utama?
Ada baiknya
kita memperhatikan secara historis bahwa komunikasi yang harmonis antara
pendatang-pribumi atau Muslim-Nasrani telah tercipta sejak 1925. Namun, konflik
berdarah sejak 1998-2001 itulah yang membuat negeri Poso mendunia. Dan, konflik
itu sendiri pecah karena adanya faktor kepentingan tertentu.
Dengan kondisi
semacam ini, seharusnya pemerintah perlu secara intens memulihkan kondisi Poso
pascakonflik. Kenapa Poso sebagai daerah bekas konflik dibedakan penanganannya
dengan konflik Aceh? Padahal, Poso dan Aceh sama-sama pernah mengalami tragedi
kemanusiaan.
Terlepas dari
adanya kekerasan berupa ledakan bom yang terasakan saat ini, yang terjadi
karena adanya luka batin akibat provokasi dari kelompok yang tidak ingin
melihat Poso damai, jauh lebih penting yang harus dilakukan adalah memaknai
konflik itu sendiri.
Bahwa perlu
secepatnya ada proyek besar kemanusiaan. Selain agar kekerasan dapat ditekan,
budaya juga damai dapat terlaksana di tengah masyarakat Poso.
Pesan politik
itu di antaranya, pertama, melakukan pola komunikasi di antara semua kelompok
masyarakat bahwa toleransi kehidupan sosial, politik, agama diterima sebagai
konsekuensi masyarakat majemuk. Kampanye ini tidak hanya disosialisasikan
kepada para elite, tetapi menyentuh masyarakat akar rumput.
Kedua,
kebijakan politik betul-betul harus melayani kepentingan rakyat. Rakyat Poso
sangat membutuhkan pemberdayaan masyarakat, terutama di sektor ekonomi dan
pendidikan.
Ketiga,
harmonisasi sosial menjadi proyek besar agar Poso menemukan jati dirinya, di
mana masyarakatnya sangat mencintai kedamaian dan persaudaraan.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar