Konflik di Laut
China Selatan telah dimulai sejak akhir abad ke-19 ketika Inggris mengklaim
Kepulauan Spartly, diikuti oleh China pada awal abad ke-20 dan Prancis sekitar
tahun 1930-an.
Di saat
berkecamuknya Perang Dunia II, Jepang mengusir Prancis dan menggunakan
Kepulauan Spartly sebagai basis kapal selam.
Dengan
berakhirnya Perang Dunia II, China dan Perancis kembali mengklaim kawasan
tersebut, diikuti oleh Filipina yang membutuhkan sebagian kawasan tersebut
sebagai bagian dari kepentingan keamanan nasionalnya.
Konflik yang
berkembang antara China dan negara-negara ASEAN lebih banyak melibatkan
Filipina dan Vietnam. Brunei, Indonesia, dan Malaysia memilih perluasan kerja
sama ekonomi daripada mempersoalkan klaim wilayah masing-masing negara dengan
China.
Namun pada saat
yang sama Malaysia dan Indonesia memberi tempat bagi militer Amerika Serikat
berupa fasilitas terbatas bagi transportasi udara dan Laut Amerika. China pada
saat itu tidak segera menyerang dan menunda penyerbuannya ke Kepulauan Spratly
dan baru pada 1988 melaksanakannya. Hal ini disebabkan beberapa hal.
Pertama, sejak
akhir dasawarsa 1960-an, setelah dibubarkannya gerakan Revolusi Kebudayaan,
pemerintah China mulai merintis jalan untuk memperbaiki citranya di dalam
masyarakat internasional, khususnya dalam hubungannya dengan negara-negara
Barat, dan karena hubungannya yang semakin memburuk dengan Uni Soviet, terutama
setelah terjadi perang perbatasan pada 1969.
Sejak itu China
membuka hubungan diplomatik dengan banyak negara Barat. Sementara itu
hubungannya dengan negara-negara ASEAN juga meningkat.
Pada 2 Juni
1974 hubungan diplomatik antara China dan Malaysia diresmikan. Kemudian disusul
hubungan diplomatik dengan Filipina pada 11 Juni 1975 dan dengan Thailand pada
1 Juli 1975. Perubahan kebijakan luar negeri China ini tampaknya menjadi
pertimbangan dalam penyelesaian sengketa Kepulauan Spratly.
Kedua, setelah
China mengalami pergolakan politik di dalam negeri dan memuncak pada revolusi
kebudayaan (1966-1968), kondisi Angkatan Laut China sangat memprihatinkan. Hal
ini rupanya memengaruhi niatnya untuk melakukan penyerangan ke Kepulauan
Spratly.
Ketiga, setelah
pada 1975 hubungan anatara China dan Vietnam dapat dikatakan masih baik, sampai
1978 ketika timbul masalah-masalah bilateral seperti pengusiran penduduk
keturunan China, masalah perbatasan, dan invasi pasukan Vietnam ke Kampuchea
yang berhasil mendepak rezim Khmer Merah dukungan Bejing.
Hubungan kedua
negara diperburuk dengan terjadinya invasi sekejap pasukan China pada Maret
1979 dengan dalih memberi pelajaran. Namun buruknya hubungan itu ternyata tidak
mendorong China melakukan serbuan ke wilayah Kepulauan Spratly yang diklaim
Vietnam.
Mungkin waktu
itu dukungan Uni Soviet kepada Vietnam masih menjadi pertimbangan China,
terutama setelah Vietnam dan Uni Soviet menandatangani perjanjian persahabatan
dan kerja sama pada 1978.
Namun ternyata
setelah China berhasil menduduki beberapa pulau “milik Vietnam” di Kepulauan
Spratly pada pertengahan Maret 1988, Uni Soviet mengambil sikap tidak mendukung
Vietnam. Soviet justru menyerukan agar keduanya mau berunding untuk
menyelesaikan konflik teritorial itu.
Armada Khusus
Menurut data The
Military Balance 1985-1986 yang diterbitkan IISS, China sekarang ini telah
menempatkan armada khusus yang ditugaskan di Laut China Selatan yang disebut
Armada Laut Selatan, di samping dua armada lainnya, yaitu Armada Utara dan
Armada Timur.
Kekuatan Armada
Laut Selatan ini berkekuatan 600 kapal perang, termasuk 25 kapal selam, 200
kapal amfibi dan beberapa jenis kapal perang lainnya.
Dengan dua
perkembangan itu, China tampaknya merasa mantap untuk melaksanakan niatnya
merebut wilayah yang diklaimnya di Kepulauan Spratly, yaitu rencana pemerintah
Filipina untuk membuat suatu UU yang akan menegaskan haknya atas Kepulauan
Spratly pada akhir November 1987.
Hal ini segera
mengundang reaksi China. Sejak itu China mengadakan manuver angkatan lautnya ke
kepulauan itu, bahkan mengadakan latihan perang di sana. Tindakan China ini
dianggap sebagai sebagai provokasi oleh Vietnam yang kemudian juga memperkuat
angkatan lautnya sehingga terjadi insiden pada 14 Maret 1988.
Saat itu
Vietnam tidak hanya kehilangan pasukan dan kapal, tetapi juga beberapa pulau.
Konflik di Kepulauan Spratly yang melibatkan banyak negara itu jelas mempunyai
implikasi bagi keamanan regional di Asia Tenggara.
Dua hal perlu
yang diperhatikan dalam kaitan ini. Pertama, sengketa itu melibatkan beberapa
negara ASEAN, termasuk di dalamnya Filipina, Malaysia, China, dan Vietnam.
Dengan demikian, mau tidak mau negara-negara ASEAN juga akan ikut terkena
dampaknya bila konflik tersebut tidak dapat diselesaikan secara damai.
Hal kedua
adalah pentingnya kawasan Laut China Selatan yang bersambungan langsung dengan
perairan Asia Tenggara, tidak saja bagi negara-negara ASEAN, tetapi juga bagi
negara-negara besar. Jalur laut di kawasan tersebut secara ekonomi sangat
penting bagi negara-negara Asia Tenggara, terutama negara-negara ASEAN.
Dalam
perkembangannya, hingga 2011, China terlihat bertindak sangat agresif dalam
mempertahankan Laut China Selatan. Salah satu contohnya, pelanggaran yang
dilakukan China pada 25 Februari 2011. Kejadiannya sekitar 222,24 km dari
pantai pulau palawan, di luar Spratly.
Kondisi di
lapangan makin memanas di antara sejumlah negara yang mengklaim Laut China
Selatan. Angkatan bersenjata Vietnam mengumumkan rencana mereka menggelar
latihan perang dengan amunisi hidup di sekitar kawasan sengketa.
Senin 13 Juni 2011,
angkatan laut Vietnam menggelar latihan perang menggunakan peluru tajam
berlangsung sembilan jam di sekitar Hong On, pulau tidak berpenghuni yang
terletak sekitar 250 km dari Paracel dan hampir 1.000 km dari Spratly.
Sementara itu,
di pihak lain Filipina mengusulkan penggantian nama Laut China Selatan dengan
Laut Filipina Barat. Filipina secara resmi menggunakan nama ini sejak 1 Juni.
Vietnam sendiri menyebutnya dengan nama Laut Timur.
Jepang
menyebutkan adanya kekhawatiran di kawasan Asia terhadap membesarnya kehadiran
angkatan laut China dan tujuannya di masa mendatang.
Meningkat
Persaingan
pengaruh semakin meningkat di kawasan ini sejak AS mengalihkan perhatian dan
sumber dayanya ke Asia pada 2011.
Tokyo
menegaskan pentingnya persekutuan Jepang dengan AS, di mana kehadiran pasukan
AS di Jepang berfungsi sebagai pencegahan terhadap berbagai kemungkinan, dan
memberikan rasa aman terhadap negara-negara di kawasan ini. Namun demikian,
Jepang juga menyebut Korea Utara dengan strategi nuklirnya yang militeristis
tetap merupakan ancaman keamanan.
Sementara itu,
pemerintah Korea Utara juga sedang bekerja keras untuk mengembangkan senjata
perusak massal dan rudal balistik, menurut buku putih itu.
Diproyeksikan
hingga 2015, China akan menggelar sedikitnya 350 kapal patroli maritim dan 16
pesawat tempur. Sementara hingga 2020, jumlah kapal laut akan meningkat menjadi
520 unit. Seiring meningkatnya perekonomian, China semakin agresif mengklaim
dalam wilayah Laut China Selatan walaupun berbenturan dengan sejumlah negara
tetangga.
Bagi ASEAN,
perkembangan ini cukup memprihatinkan. Konflik Kepulauan Spratly itu memang
tidak melibatkan Indonesia secara langsung, tapi dapat dikhawatirkan konflik
itu menjalar ke wilayah Indonesia karena Indonesia sekarang ini juga menguasai
beberapa kepulauan di Laut China Selatan, seperti Kepulauan Badas, Kepulauan
Tambelan, Kepulauan Natuna, dan Kepulauan Anambas yang letaknya berdekatan
dengan Kepulauan Spratly.
Sekarang hal itu
memang belum menjadi sumber konflik, tapi mungkin konflik akan terjadi di masa
mendatang. Hal ini terutama karena adanya pengaturan baru dalam Konvensi Hukum
Laut Internasional yang telah disepakati oleh banyak negara pada Oktober 1982.
Sangat disesalkan
bila ketidakamanan wilayah Laut China Selatan sangat memengaruhi angkutan laut,
baik yang datang dari negara-negara tersebut di atas ke negara-negara ASEAN
maupun sebaliknya.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar