Selasa, 17 Juni 2014

Dinamika Konflik Di Maluku

Pada Januari 1999, kekerasan mendadak dan mengejutkan pecah antara orang-orang Kristen dan Muslim di provinsi Maluku Indonesia. Tadinya terlihat sebagai wilayah stabil Nusantara, dengan cepat ia menjadi tempat perelisihan beragama yang berakibat mengenaskan.ribuan orang terbunuh dalam sepanjang spiral tahu-tahun berikutnya. Meski kurang begitu dikenal di wilayah Indonesia lainnya dan lebih banyak diacuhkan di rezim Soeharto, Maluku kemudian menjadi kesibukan inti pemerintahan Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati.
Ambiguitas peran Islam dalam bangsa indonesia dan hubungan patrimornial yang mendukung rezim Orde Baru telah mempertegas perpecahan diantara orang-orang Kristen dan Islam. Identitas agama memainkan peran kuat dalam persaingan untuk posisi-posisi di Maluku. Dalam birokrasi-birokrasi dan pemerintahan daerah, oarang-orang Kristen jengkel terhadap kian bertambahnya Muslim di daerah yang dulunya mereka kendalikan. Ketegangan mulai naik secara lebih mentab ketika Muslim lebih disukai dibawah perubahan kebijakan Soeharto pada 1990-an.
Ketegangan-ketegangan itu kemudian dipadu dengan pesatnya migrasi yang mengubah keseimbangan antara orang-orang Kristen dan Muslim. Program transmigrasi menarik banyak Muslim ke Maluku dan memicu tuduhan terhadap pemerintah. Ketegangan ini menjadi salah satu pemicu memanasnya hubungan Kristen dan Muslim.
Meletusnya kekerasan dan intensitasnya adalah akibat langsung dari ketegangan yang terus meningkat diantara kelompok-kelompok agama. Kerusuhan berskala besar pertama meletus pada 1999. Ia berawal pada 19 Januari, Idul Fitri, hari terakhir bulan sici Ramadhan bagi Muslim. Konflik terus berlanjut selama tiga hari berikutnya. Ia menyebar ke komunitas Batu Gantung, Waringin, Pantai Karang, Passo, Nania, Wailete, Kamiri, Hative Besar, dll. Konflik juga terjadi antara Kristen dan Muslim di Maluku tak berpreseden.
Krisis di Ambon mulai membentuk dinamikanya sendiri dan mencerminkan ketidakpercayaan mendalam yang telah tumbuh diantara orang-orang Kristen dan islam. Persaingan lokal atas sumber daya dan posisi-posisi, polarisasi identitas agama, ketakutan akan peluang di masa depan, dan ancaman terhadap masing-masing komunitas telah menjadi lahan yang subur  bagi konflik.
Faktor kelembagaan menyediakan konteks bagi potensi kekerasan tetapi tidak menjelaskan intensitas dan skalanya. Dipadukan dengan faktor-faktor lokal seperti pemisahan histois antara orang-orang Kristen dan Muslim, jumlah kedua komunitas yang hampir sebanding, dan efek migrasi, kesemuanya itu membuat Maluku secara khusus rentan terhadap konflik.

Sumber:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar