Pada Januari 1999, kekerasan mendadak dan mengejutkan pecah antara
orang-orang Kristen dan Muslim di provinsi Maluku Indonesia. Tadinya terlihat
sebagai wilayah stabil Nusantara, dengan cepat ia menjadi tempat perelisihan
beragama yang berakibat mengenaskan.ribuan orang terbunuh dalam sepanjang
spiral tahu-tahun berikutnya. Meski kurang begitu dikenal di wilayah Indonesia
lainnya dan lebih banyak diacuhkan di rezim Soeharto, Maluku kemudian menjadi
kesibukan inti pemerintahan Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati.
Ambiguitas peran Islam dalam bangsa indonesia dan hubungan
patrimornial yang mendukung rezim Orde Baru telah mempertegas perpecahan
diantara orang-orang Kristen dan Islam. Identitas agama memainkan peran kuat
dalam persaingan untuk posisi-posisi di Maluku. Dalam birokrasi-birokrasi dan
pemerintahan daerah, oarang-orang Kristen jengkel terhadap kian bertambahnya
Muslim di daerah yang dulunya mereka kendalikan. Ketegangan mulai naik secara
lebih mentab ketika Muslim lebih disukai dibawah perubahan kebijakan Soeharto pada
1990-an.
Ketegangan-ketegangan itu kemudian dipadu dengan pesatnya migrasi
yang mengubah keseimbangan antara orang-orang Kristen dan Muslim. Program
transmigrasi menarik banyak Muslim ke Maluku dan memicu tuduhan terhadap
pemerintah. Ketegangan ini menjadi salah satu pemicu memanasnya hubungan
Kristen dan Muslim.
Meletusnya kekerasan dan intensitasnya adalah akibat langsung dari
ketegangan yang terus meningkat diantara kelompok-kelompok agama. Kerusuhan
berskala besar pertama meletus pada 1999. Ia berawal pada 19 Januari, Idul
Fitri, hari terakhir bulan sici Ramadhan bagi Muslim. Konflik terus berlanjut
selama tiga hari berikutnya. Ia menyebar ke komunitas Batu Gantung, Waringin,
Pantai Karang, Passo, Nania, Wailete, Kamiri, Hative Besar, dll. Konflik juga
terjadi antara Kristen dan Muslim di Maluku tak berpreseden.
Krisis di Ambon mulai membentuk dinamikanya sendiri dan mencerminkan
ketidakpercayaan mendalam yang telah tumbuh diantara orang-orang Kristen dan
islam. Persaingan lokal atas sumber daya dan posisi-posisi, polarisasi
identitas agama, ketakutan akan peluang di masa depan, dan ancaman terhadap
masing-masing komunitas telah menjadi lahan yang subur bagi konflik.
Faktor kelembagaan menyediakan konteks bagi potensi kekerasan tetapi
tidak menjelaskan intensitas dan skalanya. Dipadukan dengan faktor-faktor lokal
seperti pemisahan histois antara orang-orang Kristen dan Muslim, jumlah kedua
komunitas yang hampir sebanding, dan efek migrasi, kesemuanya itu membuat
Maluku secara khusus rentan terhadap konflik.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar